" Masjid Iluminati " Oleh: Abdul Wahab
Bandung - Marka News. Tidak lama ini, media Indonesia diramaikan oleh tuduhan emosional atas nama Islam oleh Ahmad Baiquni kepada arsitek ternama yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat : Ridwan Kamil. Gubernur yang berasal dari keluarga pesantren ini dituduh telah menggunakan simbol Yahudi pada desain bangunan masjid As-Safar. Sampai-sampai Baiquni tidak mau melakukan shalat di masjid tersebut.
Simbol yang dimaksud adalah segi tiga dan lingkaran menyerupai mata dajjal, dalam pandangan Baiquni, desain tersebut merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap simbol azazil yang menjadi pujaan kaum yahudi. Lebih parah lagi, arsitek yang mendesain masjid itu dituduh telah masuk dalam konspirasi Yahudi yang notabene sangat memusuhi Islam, dengan demikian, Ridwan Kamil bisa disimpulkan tidak berpihak pada Islam. Sebuah tuduhan serius kepada seseorang yang tumbuh dan berkembang dalam hidup dan kehidupan pesantren Islam.
Dalam hal tuduhan konspirasi karya desain arsitektur bersama Yahudi, Baiquni dan komplotannya tidak hanya menyasar masjid Assafar karya desain Ridwan Kamil, Arab Saudi juga menjadi objek tuduhan ini dengan berbagai desain bangunannya, termasuk qubah Masjid Nabawi di Madinah.
Dalam hemat penulis, tuduhan emosional Baiquni tidak bersandar pada prosedur hujjah fiqhi yang tepat, namun hanya terpaku pada sektarianisme simbol-simbol, yang ujung-ujungnya jika ditelisik secara cermat tidak ada hubungannya dengan konspirasi penguatan budaya Yahudi berikut pemujaan azazil. Sudut pandang arsitektur yang dikemukakan Ridwan Kamil ketika diundang dalam forum tabayyun, sudah lebih dari cukup sebagai penyangkal tuduhan Baiquni.
Namun demikian, sebagai penambah informasi atas ketidak pantasan tuduhan itu, budayawan baiknya kita telusuri sejarah akulturasi budaya Islam dan kafir dalam arsitektur Islam. Kalau kita membaca sejarah pembangunan Kota Baghdad pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah misalnya, Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur mempercantik Baghdad dengan gaya aristektur arab, Persia dan romawi, Hudhari Bik menggambarkan dalam Tarikh Tasyri’nya ;
قَدْ تَعَاوَنَ فِى بِنَائِهَا الْعَقْلَ الْعَرَبِيِّ وَالْعَقْلَ الْفَرَسِيِّ وَالُّروْمِيِّ فَأَخَذَتْ مِنْ كُلِّ عَقْلٍ اَحْسَنَ مَا كُنَّ فِيْهِ مِنْ قُدْرَةِ الْاِبْدَاعِ
Selanjutnya, kita perhatikan arsitektur masjid-masjid nusantara yang tidak terlepas dari gaya bangunan tempat ibadah penganut Hindu, atapnya bertingkat-tingkat sebagaimana pure.
Lalu dengan demikian apakah para wali yang mendesain bangunan masjid itu telah bertasyabbuh dengan orang Hindu yang berdampak pada lemahnya dakwah Islamiyah, lalu memperlemah aqidah dan berujung pada ketidaksahan sholat?
Saya berpikir tidak demikian, pada prinsipnya, desain arsitektur itu tidak bergama, oleh karenanya, sejauh tidak berdampak pada rusaknya ibadah dalam pandangan akidah dan fiqhi, maka berbagai desain itu tidak masalah digunakan, baik untuk bangunan rumah ataupun tempat ibadah semacam masjid dan musolla.
Persoalan desain arsitektur adalah persoalan berseni dan tidak berseni, soal pantas dan tidak pantas, superior - inferior yang tidak berdampak pada ketidak-sah-an shalat, jika sesorang merasa khusyu’ sholat di suatu tempat, jangankan sholat di masjid yang masih diduga -dengan dugaan yang jauh dari kebenaran- berdesain simbol Yahudi, sholat di gereja ataupun kuil sekalipun sholatnya tetap sah jika tidak didapatkan hal-hal yang membatalkan shalat. Dalam sudut pandang fiqhi, ada kaidah :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ
Secara bebas, ungkapan itu bisa diartikan bahwa media maupun cara yang tidak merusak pada prinsip-prinsip tujuan ibadah, maka boleh-boleh saja ditempuh.
Rosulullah sendiri pernah sholat di kuil orang Nashrani, Rosulullah juga pernah sholat menggunakan pakaian bergambar salib, walaupun untuk soal pakaian bergambar salib rosul tidak memakainya lagi tanpa mengatakan bahwa sholatnya tidak sah dan atau mengulangi sholatnya.
Alaa kulli haal, sesungguhnya tidak masalah dalam gaya arsitektur masjid Assafar, baik secara aqidah, syari'ah maupun tsaqofah(kebudayaan). والله اعلم
Simbol yang dimaksud adalah segi tiga dan lingkaran menyerupai mata dajjal, dalam pandangan Baiquni, desain tersebut merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap simbol azazil yang menjadi pujaan kaum yahudi. Lebih parah lagi, arsitek yang mendesain masjid itu dituduh telah masuk dalam konspirasi Yahudi yang notabene sangat memusuhi Islam, dengan demikian, Ridwan Kamil bisa disimpulkan tidak berpihak pada Islam. Sebuah tuduhan serius kepada seseorang yang tumbuh dan berkembang dalam hidup dan kehidupan pesantren Islam.
Dalam hal tuduhan konspirasi karya desain arsitektur bersama Yahudi, Baiquni dan komplotannya tidak hanya menyasar masjid Assafar karya desain Ridwan Kamil, Arab Saudi juga menjadi objek tuduhan ini dengan berbagai desain bangunannya, termasuk qubah Masjid Nabawi di Madinah.
Dalam hemat penulis, tuduhan emosional Baiquni tidak bersandar pada prosedur hujjah fiqhi yang tepat, namun hanya terpaku pada sektarianisme simbol-simbol, yang ujung-ujungnya jika ditelisik secara cermat tidak ada hubungannya dengan konspirasi penguatan budaya Yahudi berikut pemujaan azazil. Sudut pandang arsitektur yang dikemukakan Ridwan Kamil ketika diundang dalam forum tabayyun, sudah lebih dari cukup sebagai penyangkal tuduhan Baiquni.
Namun demikian, sebagai penambah informasi atas ketidak pantasan tuduhan itu, budayawan baiknya kita telusuri sejarah akulturasi budaya Islam dan kafir dalam arsitektur Islam. Kalau kita membaca sejarah pembangunan Kota Baghdad pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah misalnya, Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur mempercantik Baghdad dengan gaya aristektur arab, Persia dan romawi, Hudhari Bik menggambarkan dalam Tarikh Tasyri’nya ;
قَدْ تَعَاوَنَ فِى بِنَائِهَا الْعَقْلَ الْعَرَبِيِّ وَالْعَقْلَ الْفَرَسِيِّ وَالُّروْمِيِّ فَأَخَذَتْ مِنْ كُلِّ عَقْلٍ اَحْسَنَ مَا كُنَّ فِيْهِ مِنْ قُدْرَةِ الْاِبْدَاعِ
Selanjutnya, kita perhatikan arsitektur masjid-masjid nusantara yang tidak terlepas dari gaya bangunan tempat ibadah penganut Hindu, atapnya bertingkat-tingkat sebagaimana pure.
Lalu dengan demikian apakah para wali yang mendesain bangunan masjid itu telah bertasyabbuh dengan orang Hindu yang berdampak pada lemahnya dakwah Islamiyah, lalu memperlemah aqidah dan berujung pada ketidaksahan sholat?
Saya berpikir tidak demikian, pada prinsipnya, desain arsitektur itu tidak bergama, oleh karenanya, sejauh tidak berdampak pada rusaknya ibadah dalam pandangan akidah dan fiqhi, maka berbagai desain itu tidak masalah digunakan, baik untuk bangunan rumah ataupun tempat ibadah semacam masjid dan musolla.
Persoalan desain arsitektur adalah persoalan berseni dan tidak berseni, soal pantas dan tidak pantas, superior - inferior yang tidak berdampak pada ketidak-sah-an shalat, jika sesorang merasa khusyu’ sholat di suatu tempat, jangankan sholat di masjid yang masih diduga -dengan dugaan yang jauh dari kebenaran- berdesain simbol Yahudi, sholat di gereja ataupun kuil sekalipun sholatnya tetap sah jika tidak didapatkan hal-hal yang membatalkan shalat. Dalam sudut pandang fiqhi, ada kaidah :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ
Secara bebas, ungkapan itu bisa diartikan bahwa media maupun cara yang tidak merusak pada prinsip-prinsip tujuan ibadah, maka boleh-boleh saja ditempuh.
Rosulullah sendiri pernah sholat di kuil orang Nashrani, Rosulullah juga pernah sholat menggunakan pakaian bergambar salib, walaupun untuk soal pakaian bergambar salib rosul tidak memakainya lagi tanpa mengatakan bahwa sholatnya tidak sah dan atau mengulangi sholatnya.
Alaa kulli haal, sesungguhnya tidak masalah dalam gaya arsitektur masjid Assafar, baik secara aqidah, syari'ah maupun tsaqofah(kebudayaan). والله اعلم
Terimakasih ustadz atas pencerahannya. Sangat informatif dan logis
BalasHapusTerimakasih ustadz atas pencerahannya. Sangat informatif dan logis
BalasHapus